Selasa, 01 Oktober 2019

we should know


Paper Sosiologi Kehutanan                                                    Medan,      Oktober  2019
ASPEK-ASPEK SOSIOLOGI MASYARAKAT
SUKU ASMAT

Dosen Penanggungjawab :
Dr. Agus Purwoko S.Hut., M.Si.

 Oleh :
Cynthia Aulia Ginting
171201188
Konservasi Sumberdaya Hutan 5














PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERAA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang  Maha Esa atas berkah anugerah Nya memberikan pengetahuan, dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan paper ini dan kepada dosen penanggungjawab Sosiologi Kehutanan Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M. Si yang telah memberikan pelajaran dan bimbingannya dalam pelaksanaan matakuliah hingga terwujudnya paper ini. Diharapkan paper ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga paper ini dapat menjadi sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.


  Medan, Oktober 2019


Penulis


















BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam, dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen “aneka ragam” Keragaman masyarakat multicultural sebagai kekayaan bangsa di sisi lain sangat rawan memicu konflik dan perpecahan. Pluralitas dan heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat dalam prinsip persatuan dan kesatuan bangsa  yang kita kenaldengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang bersatu dalam suatu kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa. Negara yang memiliki keunikan multientis dan multimental seperti Indonesia dihadapkan pada dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi di sisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan bila ada ungkapan bahwa kondisi multikultural diibaratkanseperti bara dalam sekam yang mudah tersulut dan memanas sewaktu-waktu. Kondisi ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Namun, ketika perbedaan tersebut mengemuka dan menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, hal ini dapat menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan sikap yang penuh toleransi.
Multikulturalisme di Indonesia tumbuh dan berkembang dari nasionalisme. Multikulturalisme Indonesia mengakui kebhinnekaan budaya dari suku-suku bangsa di Indonesia bahkan merupakan dasar dari kehidupan bersama Indonesia yang beragam. Keberagaman dari kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia bukan merupakan pemisah tetapi merupakan unsur-unsur kesatuan bangsa. Lewat sumpah pemuda, bahasa Indonesia mengambil porsi
penting dalam upaya mempersatukan keberagamaan tersebut. Bahasa merupakan bagian yang penting dari suatu kebudayaan. Tak hanya itu, penggunaan bahasa memperlihatkan pola berpikir anggota masyarakat. Dengan demikian pendidikan bahasa atau penggunaan bahasa sebagai bahasa persatuan harus dimulai sejak taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi.
            Suku Asmat adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Papua bagian Selatan, yakni Kabupaten Asmat, Provinsi Papua. Kabupaten Asmat bersebelahan dengan Kabupaten Merauke. Asmat memiliki se-ni budaya yang unik dan sangat tinggi nilainya, antara lain seni ukir, seni tari, kerajinan tangan, seperti noken dan pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu, dan upacara-upacara adat seperti pesta pembuatan Patung Mbis (patung leluhur), pesta Emak-Cem (rumah tulang), dan pesta ulat sagu. Dalam kehidupan sosial, orang Asmat mengenal tiga konsep dunia, yakni asmat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), dampu ow capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal) dan sa-far (surga).

1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana interaksi sosial suku Asmat?
2. Bagaimana struktur sosial suku Asmat
3. Bagaimna kelompok sosial yang ada di suku Asmat?
4. Bagaimana nilai norma sosial suku Asmat?
5. Bagaimana kelembagaan masyarakat suku Asmat?
6. Bagaimana perubahan sosial masyarkat suku Asmat?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui interaksi sosial suku Asmat.
2. Untuk mengetahui struktur sosial suku Asmat.
3. Untuk mengetahui kelompok sosial yang ada di suku Asmat
4. Untuk mengetahui norma sosial suku Asmat.
5. Untuk mengetahui kelembagaan  masyarakat suku Asmat.
6. Untuk mengetahui perubahan sosial masyarakat suku Asmat.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Interaksi Sosial Suku Asmat
Di kota Agats, Ibukota Kabupaten Asmat, seluruh bagian kota dihubungkan dengan jalan jembatan. Jalan utama di kota ini adalah sebuah jembatan dengan lebar kira-kira 2 meter yang memanjang menuju pusat-pusat perekonomian seperti pasar, pusat pemerintahan, pusat kesehatan, sarana umum, tempat ibadah dan sekolah-sekolah. Masing-masing rumah terhubung dengan jembatan seadanya menuju jembatan utama yang berfungsi sebagai jalan umum bagi pejalan kaki. Kondisi seperti ini menciptakan interaksi yang sangat tinggi diantara masyarakat, karena hamoir semua warga melintas dijalan jembatan tersebut, terkecuali para pejabat. Interaksi masyarakat yang sangat tinggi ini memungkinkan satu sama lain saling mengenal dan saling menyapa.
Kehadiran orang asing atau tamu akan langsung dikenali di wilayah itu masyarakat Asmat sangat ramah dengan para pendatang baru atau tamu di wilayahnya. Mereka biasanya akan menyapa jika berpapasan dijalan. Sedangka untuk berhubungan dari satu distrik ke distrik yang lain, yaitu bagian wilayah di luar kota Agats, di gunakan transportasi air seperti perahu, perahu panjang tradisional, perahu panjang dengan motor dan speedboat sering menjadi pilihan untuk perjalanan antar kampong dan distrik.
Suku Asmat juga sering kontak dengan masyarakat dari luar dan mulai mengenal uang, nasi, dan ikan. Mereka mulai menggunakan pakaian dari kain layaknya orang dari luar papua. Mereka juga sudah meninggalkan kanibalisme, yakni cara hidup yang akan mengkomsumsi sesame jenis. Orang yang mereka anggap musuh akan dibunuh dan bagian-bagian tubuhnya dikomsumsi bersama. Orang-orang Asmat merasa dirinya bagian dari alam. Karena, itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitar bahkan pohon di sekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohpn menggambarkan tangan, buah menggambarkan kepala dan akar menggambarkan kaki. Sehari-hari orang asmat bekerja dilingkungan sekitarnya, terutama untuk mencari makan. Anak-anak harus membantu orangtuanya mencari umbi, udang, kerang, kepiting, dan belalang untuk dimakan. Sementara itu para bapak menebang pohon sagu serta berburu binatang dihutan.

2.2. Struktur Sosial Suku Asmat
Pada masa lampau sistem kepemimpinan masyarakat Asmat sangat ditentukan oleh kondisi keamanan masa itu yang selalu penuh dengan peperangan antar kampung, karena itu kedudukan para pemimpin perang lebih penting daripada posisi pemimpin lain. Para panglima itu disebut tesmaipitsy.  Pada tahun 1960-1980an sistem desa mulai diberlakukan di Asmat. Pada masa itu banyak kepala desa yang berasal dari mantan tesmaipitsy. Gejala ini sekarang berhenti setelah ada syarat bahwa setiap Kepala Desa harus bisa tulis dan baca. Orang Asmat terbagi dalam beberapa sub kelompok suku bangsa yang timbul karena adanya federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu. Federasi adat ini ditandai oleh adanya kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial mitologis. Sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau, Bismam, Simai, Emai-Ducur, Betch-Mbuo, Kaimo, Safan, Brazza, dan Joerat. Kehidupan dalam setiap suku berbeda-beda. Suku asmat sendiri mempunyai sistem sosial yang mempunyai peran tersendiri. Perbedaan pada pola tradisional, Pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya. Struktur organisasi pada suku asmat bebeda dengan masyarakat umum. Jabatan kepala desa diserahkan kepada orang muda yang telah mendapatkan pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan.
Dibantu oleh seorang asisten kepala desa yang biasanya adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh warga desa. Seorang kepala distrik yang membawahi para “polisi” desa yang mengatur hansip setempat. Kepala distrik inilah yang memutuskan hukuman apabila terjadi pelanggaran yang cukup serius. Tampak adanya suatu pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Di satu pihak, terdapat kepala desa beserta pembantu-pembantunya dan di pihak lain terdapat kepala distrik yang menangani pelangaran-pelanggaran khusus.
B.    Sistem Perilaku
Kehidupan suku bangsa Asmat dulunya adalah Semi Nomad, namun sekarang sudah ditinggalkan. Mereka tinggal di pegunungan yang saling berjauhan karena perasaan takut diserang musuh. Rumah Bujang merupakan tempat semua kegiatan desa dan upacara adat terpusat. Dasar organisasi sosial masyarakat suku bangsa Asmat adalah keluarga inti monogamy kadang-kadang poligini. Kesatuan keluarga yang lebih luas yaitu uxorilokal yakni pasangan pengantin sesudah menikah berada di rumah keluarga yang lebih luas, atau avunkulokal, yaitu pasangan pengantin setelah menikah akan bertempat tinggal di rumah istri dari keluarga ibu. Di setiap kampung biasanya terdapat dua yew. Sekaligus menandakan ada dua paroh masyarakat di kampung itu. Yew pertama  milik kelompok ciawi, yaitu keluarga-keluarga penghuni asal kampung itu. Yew kedua milik kelompok amis, yaitu keluarga-keluarga pendatang yang bergabung dengan penghuni kampung itu. Antara kedua yew ini sering terikat hubungan sosial karena perkawinan. Karena itu juga saling tolong menolong, misalnya ketika ada peperangan dengan kampung lain. Mereka sering membentuk konfederasi beberapa kampung untuk menghadapi kampung-kampung musuh. Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan. Secara umumnya, kaum perempuan yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring ikan di laut atau di sungai. Sedangkan kaum laki-laki lebih sibuk dengan melakukan kegiatan perang antara clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-laki juga lebih terpusat di rumah bujang.
C.    Wujud Budaya
Sebagai wujud budaya, suku asmat mengenal istilah sistem clan. Clan merupakan wujud budaya asmat yang telah mereka lakukan.  Dengan prinsip pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya,
seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial, dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik secara patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian jodoh, mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki melarikan gadis yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan pertikaian dan pembunuhan. Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem). Masyarakat suku asmat juga mengenal sistem kekerabatan dimana sudah menjadi pola wujud budaya mereka yaitu budaya keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini. Mereka tinggal bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga seperti itu, biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga yunior atau 2 keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan keluarga inti masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.
Suku asmat juga mempunyai struktur sosial yang disebut keluarga batih asmat biasa disebut cem atau tsyem. Rumah Cem didirikan berderet-deret dibelakang rumah panjang/rumahkomunal/ rumah bujang/laki-laki yang disebut yew. Jadi dapat dikatakan pusat pemukiman orang Asmat adalah yew. Semua laki-laki remaja dan dewasa harus berdiam di Yew. Sedangkan wanita dan anak-anak berdiam di Cem atau Tsyem. Perbandingan umur juga menentukan masyarakat asmat beradaptasi dengan lingkungannya. Semakin seorang anak meningkat dewasa, semakin dekat ia dengan keluarga luasnya yang senior, terutama dengan saudara kandung ibunya. Sejak umur tujuh tahun seorang anak laki-laki akan berdiam di youse keluarga luasnya

2.3. Kelompok Sosial Suku Asmat
Dulu permukiman orang Asmat sering berpindah-pindah, terutama di sekitar hutan sagu milik kaum mereka. Pada masa sekarang desa-desa Asmat relatif tetap dan wilayah mereka terbagi ke dalam beberapa wilayah seperti Agats, Sawa-Erma, Atsy dan Pantai Kasuari (Pirimapun), sebagian lagi menghuni beberapa desa di wilayah Citak-Mitak (Senggo). Keterbukaan wilayah Asmat sekarang berkat adanya unsur seni mereka yang menjadi daya tarik dan kekaguman dunia, yaitu seni mengukir patung dan panil dari kayu yang dianggap orang sebagai salah satu seni kesenian primitif yang sempat bertahan. Orang Asmat sebenarnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub-kelompok suku bangsa yang timbul karena adanya federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu. Federasi adat itu kadang-kadang juga ditandai oleh kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial mitologis. Sub-sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau, Bisman, Simai, Emari-Ducur, Betch-Mbup, Kaimo, Safan, Brazza dan Joerat. Keluarga-keluarga Asmat biasanya hidup dalam kelompok keluarga batih, yaitu gabungan dari keluarga inti senior dengan beberapa keluarga inti yuniornya yang bertempat tinggal dalam sebuah rumah keluarga (cem). Akan tetapi masing-masing keluarga inti itu memiliki tungku api atau dapur (yousa) sendiri-sendiri, tempat si isteri memasak makanan untuk suami dan anak-anaknya. Masyarakat Asmat menganut prinsip hubungan kekerabatan yang patrilineal sifatnya. Akan tetapi dalam pola tempat tinggal bisa saja seorang lelaki ikut dengan kelompok batih isterinya. Keluarga-keluarga Batih itu tergabung lagi ke dalam kelompok keluarga luas patrilineal sampai kepada cikal bakal yang pertama beberapa tingkatan ke atas. Kelompok keluarga luas ini disebut yeu, dan bersama-sama dengan yeu lain membentuk federasi desa dan mendirikan rumah komunal federasi yang juga disebut yeu. Dari pada menghabiskan waktunya di rumah keluarga (cem) lelaki Asmat lebih banyak berada di rumah yeu, kecuali sedang mengolah sagu atau pergi berburu atau berperang. Dalam sebuah desa kadang kala ada dua atau lebih rumah yeu, berarti dalam desa itu ada dua atau lebih federasi yang membentuk lagi konfederasi teritorial sekampung.
Sistem kepemimpinan orang Asmat lebih ditekankan kepada kemampuan dan kewibawaan seorang lelaki yang mempunyai tubuh perkasa dan memiliki banyak pemgalaman dalam pertempuran. Akan tetapi dalam kehidupan sosial politik sehari-hari setiap kampung biasanya mempunyai seorang pemimpin adat yang disebut yeu iwir, dan masing-masing federasi yeu mempunyai seorang pemimpin yang disebut tese wu. Para pemimpin adat ini dibantu oleh sejumlah penasehat yang disebut arak amsewir, yaitu orang tua-tua bijak yang kaya dengan pengalaman. Walaupun setiap orang dianggap mampu berhubungan dengan dunia roh yang mereka yakini, akan tetapi mereka juga memiliki seorang tokoh yang dianggap pemimpin dalam masalah upacara keagamaan, tokoh ini disebut arapak tor. Pelapisan sosial Asmat lebih banyak ditentukan oleh kesenioran seseorang tokoh yang disegani karena jasa dan keperkasaannya. Akan tetapi mereka juga menaruh rasa segan dan hormat kepada tokog-tokoh pengukir (wow ipits), tokoh pendongeng cerita-cerita suci (pirmer wur), tokoh pemain tifa dan penyanyi (eme wu), dan tokoh diplomatik yang sering menjadi penghubung antar kelompok (emak fakau).

2.4. Nilai/Norma Yang Ada Di Suku Asmat
            Kebudayaan Papua didasari oleh nilai-nilai yang telah terbentuk dan dianut masyarakat Papua dari  jaman nenek moyang sampai sekarang. Nilai-nilai  yang  mendasari masyarakat Papua untuk bertingkahlaku dikenal dengan sebutan values. Values  terbentuk melalui proses transmisi yang hampir sama seperti proses terbentuknya  belief, yaitu keyakinan  terhadap sesuatu yang benar/salah,  baik/buruk, maupun dikehendaki/tidak dikehendaki. Dalam  belief, diasumsikan  memiliki cognitive, affective dan behavioral components (Rokeach, 1968). Values
merupakan konsep atau kepercayaan yang mengarahkan pada keadaan akhir atau  tingkah laku yang diinginkan, hakikat  dari sesuatu spesifik, pedoman untuk  menyelesaikan tingkah laku dan kejadian-kejadian serta disusun berdasarkan  kepentingan yang relatif (Schwartz & Bilsky,1987,1990). Di dalam  values terdapat sepuluh tipe yaitu  benevolence, conformity, tradition, security, power, achievement, stimulation, self direction, universalism  dan  hedonism (Schwartz,
2001). Nilai-nilai budaya Papua tercermin dari berbagai tradisi yang diturunkan dari tradisi orangtua dan dewasa lain yang sebudaya dapat terlihat dalam pesta bakar batu, masyarakat Papua dapat mengeluarkan uang yang banyak dan tidak bekerja  selama berhari-hari hanya untuk dapat mengadakan pesta ini karena bagi mereka 6 Universitas Kristen Maranatha makna pesta ini adalah untuk  mengucapkan rasa syukur melalui kegembiraan  (hedonism value). Selain itu, masyarakat Papua menjalankan upacara adat maupun  pesta adat sebagai suatu kewajiban untuk menjaga dan menghormati adat istiadat (tradition value). Sedangkan saat masyarakat Papua ini berada di Kota bandung, mereka mengalami akulturasi dengan budaya lain yang lebih  beranekaragam sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai-nilai budaya yang telah mereka pegang sejak berada di Papua. Nilai-nilai ini dapat terlihat saat berada di Kota Bandung, sudah tidak ada orang dewasa Papua yang sebudaya untuk mengurus mereka melainkan orang dewasa yang berbeda budaya (Sunda) yang mengurus dan mengatur kehidupan mereka sehingga mereka sangat patuh dan menghargai orang dewasa tersebut (conformity value). Saat berada di Kota Bandung, mereka jarang melakukan adat tradisi budaya Papua namun untuk mengingatkan mereka berasal dari Papua, mereka selalu membawa barang-barang seperti koteka, tifa atau benda-benda lain yang dapat mewakilkan diri mereka (tradition value).

2.5 Kelembagaan Suku Asmat
            Suku Asmat memiliki satu kepala suku dan kepala adat yang sangat dihormati. Akan segala tugas kepala suku harus sesuai dengan kesepakatan masyarakat, sehingga hubungan antara kepala suku dengan masyarakat cukup harmonis. Jika kepala suku meninggal dunia, maka kepemimpinan diserahkan pada marga keluarga lain yang dihormati oleh warga. Kepemimpinan juga bisa diserahkan kepada orang yang berhasil mendapatkan kemenangan dalam perang.
Suku asmat sendiri mempunyai sistem sosial yang mempunyai peran tersendiri. Perbedaan pada pola tradisional, Pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi saja. Kepala desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh beberapa orang pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan dan juga menjaga agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya. Struktur organisasi pada suku asmat bebeda dengan masyarakat umum. Jabatan kepala desa diserahkan kepada orang muda yang telah mendapatkan pendidikan dari misi agama pada akhir lima puluhan.

2.6 Perubahan Sosial Suku Asmat
            Situasi sosial budaya Asmat mengalami perkembangan sejak datangnya para misionaris pada tahun 1960-an. Interaksi dengan dunia luar yang membawa serta perkembangan struktur sosial budayanya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya baru nan modern turut mewarnai jati diri manusia Asmat. Meskipun demikian, hal tersebut belum mengeser seluruhnya budaya masyarakat Asmat sebagai manusia peramu. Kalaupun ada, itu adalah bentuk-bentuk meramu baru. Unsur ekonomi amat mempengaruhi kebudayaan Asmat. Akibatnya budaya Asmat sebagaimana digambarkan di atas, kini telah mengalami pergeseran di sana sini. Alam meskipun masih mempunyai nilai yang sakral kini juga telah dikomersilkan. Pohon-pohon ditebang untuk pembangunan, hasil hutan tidak lagi sekedar untuk kebutuhan konsumsi tetapi juga untuk diperjual-belikan. Jika dulu mereka meramu alam, kini sebagian meramu kebijakan-kebijakan pemerintah terutama berkaitan dengan Alokasi Dana Kampung. Agama Katolik memang menjadi agama mayoritas. Akan tetapi keseluruhan hidup orang Asmat masih dipengaruhi oleh keyakinan tradisional mereka terutama berkaitan dengan dunia roh yang bercorak animisme dan dinamisme. Bahkan prinsip resiproritas yang menjadi ciri masyarakat Melanesia pada umumnya pun masih berakar kuat. Segala sesuatu mesti ada timbal baliknya. Itu sebabnya pula, visi gereja menjadi pilar masyarakat di samping budaya Asmat itu sendiri menghadapi tantangan yang berat. Berbagai strategi pemberdayaan masyarakat seperti tidak menampakan hasil apa-apa. Bahkan yang paling nyata, ungkapan-ungkapan iman (dan seni) yang tertuang dalam ukiran-ukiran Asmat pun tidak lagi semata-mata bernilai religi tetapi juga ekonomis. Banyak pengukir Asmat yang membuat ukirannya sekenanya saja lalu menjajakannya dari rumah ke rumah dengan harga yang murah. Kini, tradisi ukir-mengukir ini coba dilestarikan dengan Pesta Budaya Asmat yang biasa diselenggarakan pada awal bulan Oktober setiap tahun (tahun ini berlangsung dari 6-11 Oktober 2016). Namun, nilai magis religi dan seninya telah jauh berkurang.
Di samping itu, rumah adat yang disebut Jew atau Rumah Bujang yang dulu memegang peranan yang sangat penting pun telah mengalami pergeseran bahkan hilang sama sekali. Tempat yang semula berpusat sebagai sarana untuk membicarakan hidup bersama di kampung, kini fungsinya meluas. Tidak hanya berkaitan dengan perang dan urusan adat tetapi juga berkaitan dengan agama, pemerintahan, sosial dan semua hal yang berkaitan dengan hidup bersama. Sayangnya, di beberapa kampung, Rumah Bujang sebagai rumah adat sudah tidak ada lagi. Perannya telah digantikan oleh Balai Kampung atau Balai Desa. Dengan demikian, pokok pembicaraan pun menyempit pada urusan pemerintahan saja.
Selain itu perjumpaan dengan budaya-budaya baru dari sekitar 30-an suku pendatang di Kabupaten Asmat (per 1987) pun turut mempengaruhi relasi sosial. Misalnya pemakaian Bahasa Indonesia yang makin umum, yang dipengaruhi juga oleh makin banyaknya generasi muda Asmat yang memperoleh pendidikan dasar dan menengah pertama. Selain itu, orang Asmat mulai merasa termarginalkan baik dalam birokrasi pemerintahan maupun sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Sementara kaum pendatang lebih sejahtera yang tampak lewat pekerjaan yang tetap, perumahan yang permanen. Hal ini dipertajam oleh pola-pola pemukiman yakni adanya perumahan orang Asmat yang kumuh dan kurang terawat di samping perumahan pemda atau perumahan pendatang yang lebih mapan dan terurus.




BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
            Suku Asmat merupaka suku terbesar di tanah papua. Mereka memiliki berbagaimacam budaya yang unik dan menarik. Kehidupan adat yang sangat kompleks menjadi sebuah hal yang menarik untuk selalu di pelajari. Kehidupan sehari-hari suku asmat memang tidak bisa lepas dari akar budaya mereka. Kedekatan mereka dengan alam sangat tercermin dari tatacara kehiidupan mereka. Pakaian mereka yang terbuat dari bahan-bahan yang ada di alam. Ukiran-ukiran bahkan konsep tata cara hidup mereka juga terinspirasi dari alam.















DAFTAR PUSTAKA
Lestari, Gina. 2015. Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara. Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Tilaar, H. A. R. 2006. Multikulturalisme, Bahasa Indonesia, Dan Nasionalisme dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.