ASPEK-ASPEK SOSIOLOGI MASYARAKAT
SUKU ASMAT
Dosen Penanggungjawab :
Dr. Agus
Purwoko S.Hut., M.Si.
Oleh :
Cynthia Aulia Ginting
171201188
Konservasi
Sumberdaya Hutan 5
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERAA UTARA
MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas berkah anugerah Nya memberikan pengetahuan, dan kesempatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
dalam pembuatan paper ini dan kepada dosen
penanggungjawab Sosiologi Kehutanan Dr.
Agus Purwoko, S.Hut., M. Si yang telah
memberikan pelajaran dan bimbingannya dalam pelaksanaan matakuliah hingga terwujudnya paper ini. Diharapkan paper ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi kita semua. Semoga paper ini dapat menjadi sumber informasi bagi pihak
yang membutuhkan.
Medan, Oktober 2019
Penulis
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah
salah satu negara multikultur terbesar di dunia, hal ini dapat terlihat dari
kondisi sosiokultural maupun geografis Indonesia yang begitu kompleks, beragam,
dan luas. “Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama,
dan lain-lain yang masing-masing plural (jamak) dan sekaligus juga heterogen
“aneka ragam” Keragaman masyarakat multicultural sebagai kekayaan bangsa di
sisi lain sangat rawan memicu konflik dan perpecahan. Pluralitas dan
heterogenitas yang tercermin pada masyarakat Indonesia diikat dalam prinsip
persatuan dan kesatuan bangsa yang kita
kenaldengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, yang mengandung makna
meskipun Indonesia berbhinneka, tetapi terintegrasi dalam kesatuan. Hal ini
merupakan sebuah keunikan tersendiri bagi bangsa Indonesia yang bersatu dalam
suatu kekuatan dan kerukunan beragama, berbangsa. Negara yang memiliki keunikan
multientis dan multimental seperti Indonesia dihadapkan pada dilematisme
tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural
nation-state, tetapi di sisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal
yang berlebihan bila ada ungkapan bahwa kondisi multikultural
diibaratkanseperti bara dalam sekam yang mudah tersulut dan memanas sewaktu-waktu.
Kondisi ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan disadari dan dihayati
keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi. Namun,
ketika perbedaan tersebut mengemuka dan menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan
hidup, hal ini dapat menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan sikap yang
penuh toleransi.
Multikulturalisme di
Indonesia tumbuh dan berkembang dari nasionalisme. Multikulturalisme Indonesia
mengakui kebhinnekaan budaya dari suku-suku bangsa di Indonesia bahkan
merupakan dasar dari kehidupan bersama Indonesia yang beragam. Keberagaman dari
kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia bukan merupakan pemisah tetapi merupakan
unsur-unsur kesatuan bangsa. Lewat sumpah pemuda, bahasa Indonesia mengambil
porsi
penting dalam upaya mempersatukan keberagamaan
tersebut. Bahasa merupakan bagian yang penting dari suatu kebudayaan. Tak hanya
itu, penggunaan bahasa memperlihatkan pola berpikir anggota masyarakat. Dengan
demikian pendidikan bahasa atau penggunaan bahasa sebagai bahasa persatuan
harus dimulai sejak taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi.
Suku Asmat
adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Papua bagian Selatan, yakni Kabupaten
Asmat, Provinsi Papua. Kabupaten Asmat
bersebelahan dengan Kabupaten Merauke. Asmat memiliki se-ni budaya yang unik
dan sangat tinggi nilainya, antara lain seni ukir, seni tari, kerajinan tangan,
seperti noken dan pakaian adat yang terbuat dari kulit kayu, dan
upacara-upacara adat seperti pesta pembuatan Patung Mbis (patung
leluhur), pesta Emak-Cem (rumah tulang), dan pesta ulat sagu. Dalam
kehidupan sosial, orang Asmat mengenal tiga konsep dunia, yakni asmat ow capinmi (alam kehidupan sekarang),
dampu ow capinmi (alam persinggahan roh yang sudah meninggal) dan sa-far
(surga).
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana interaksi
sosial suku Asmat?
2. Bagaimana struktur sosial
suku Asmat
3. Bagaimna kelompok sosial
yang ada di suku Asmat?
4. Bagaimana nilai norma sosial
suku Asmat?
5. Bagaimana kelembagaan masyarakat suku Asmat?
6. Bagaimana perubahan
sosial masyarkat suku Asmat?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui interaksi sosial suku Asmat.
2.
Untuk
mengetahui struktur sosial suku Asmat.
3.
Untuk
mengetahui kelompok sosial yang ada di suku Asmat
4.
Untuk
mengetahui norma sosial suku Asmat.
5.
Untuk mengetahui kelembagaan
masyarakat suku Asmat.
6.
Untuk mengetahui perubahan sosial masyarakat suku Asmat.
PEMBAHASAN
2.1. Interaksi
Sosial Suku Asmat
Di kota Agats, Ibukota Kabupaten Asmat, seluruh bagian
kota dihubungkan dengan jalan jembatan. Jalan utama di kota ini adalah sebuah
jembatan dengan lebar kira-kira 2 meter yang memanjang menuju pusat-pusat
perekonomian seperti pasar, pusat pemerintahan, pusat kesehatan, sarana umum,
tempat ibadah dan sekolah-sekolah. Masing-masing rumah terhubung dengan
jembatan seadanya menuju jembatan utama yang berfungsi sebagai jalan umum bagi
pejalan kaki. Kondisi seperti ini menciptakan interaksi yang sangat tinggi
diantara masyarakat, karena hamoir semua warga melintas dijalan jembatan
tersebut, terkecuali para pejabat. Interaksi masyarakat yang sangat tinggi ini
memungkinkan satu sama lain saling mengenal dan saling menyapa.
Kehadiran orang asing atau tamu akan langsung dikenali
di wilayah itu masyarakat Asmat sangat ramah dengan para pendatang baru atau
tamu di wilayahnya. Mereka biasanya akan menyapa jika berpapasan dijalan.
Sedangka untuk berhubungan dari satu distrik ke distrik yang lain, yaitu bagian
wilayah di luar kota Agats, di gunakan transportasi air seperti perahu, perahu
panjang tradisional, perahu panjang dengan motor dan speedboat sering menjadi
pilihan untuk perjalanan antar kampong dan distrik.
Suku Asmat juga sering kontak dengan masyarakat dari
luar dan mulai mengenal uang, nasi, dan ikan. Mereka mulai menggunakan pakaian
dari kain layaknya orang dari luar papua. Mereka juga sudah meninggalkan
kanibalisme, yakni cara hidup yang akan mengkomsumsi sesame jenis. Orang yang
mereka anggap musuh akan dibunuh dan bagian-bagian tubuhnya dikomsumsi bersama.
Orang-orang Asmat merasa dirinya bagian dari alam. Karena, itulah mereka sangat
menghormati dan menjaga alam sekitar bahkan pohon di sekitar tempat hidup
mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohpn menggambarkan tangan,
buah menggambarkan kepala dan akar menggambarkan kaki. Sehari-hari orang asmat
bekerja dilingkungan sekitarnya, terutama untuk mencari makan. Anak-anak harus
membantu orangtuanya mencari umbi, udang, kerang, kepiting, dan belalang untuk
dimakan. Sementara itu para bapak menebang pohon sagu serta berburu binatang
dihutan.
2.2. Struktur
Sosial Suku Asmat
Pada masa lampau sistem
kepemimpinan masyarakat Asmat sangat ditentukan oleh kondisi keamanan masa itu
yang selalu penuh dengan peperangan antar kampung, karena itu kedudukan para
pemimpin perang lebih penting daripada posisi pemimpin lain. Para panglima itu
disebut tesmaipitsy. Pada tahun
1960-1980an sistem desa mulai diberlakukan di Asmat. Pada masa itu banyak
kepala desa yang berasal dari mantan tesmaipitsy. Gejala ini sekarang berhenti
setelah ada syarat bahwa setiap Kepala Desa harus bisa tulis dan baca. Orang
Asmat terbagi dalam beberapa sub kelompok suku bangsa yang timbul karena adanya
federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar kampung dan kelompok dulu.
Federasi adat ini ditandai oleh adanya kesamaan dialek dan simbol-simbol
kesatuan sosial mitologis. Sub kelompok tersebut antara lain : Unisirau,
Bismam, Simai, Emai-Ducur, Betch-Mbuo, Kaimo, Safan, Brazza, dan Joerat.
Kehidupan dalam setiap suku berbeda-beda. Suku asmat sendiri mempunyai sistem
sosial yang mempunyai peran tersendiri. Perbedaan pada pola tradisional, Pola
kepemimpinan dan kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara pribadi
saja. Kepala desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu oleh
beberapa orang pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga
bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan
dan juga menjaga agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya.
Struktur organisasi pada suku asmat bebeda dengan masyarakat umum. Jabatan
kepala desa diserahkan kepada orang muda yang telah mendapatkan pendidikan dari
misi agama pada akhir lima puluhan.
Dibantu oleh seorang asisten
kepala desa yang biasanya adalah seorang yang sudah berumur dan dihormati oleh
warga desa. Seorang kepala distrik yang membawahi para “polisi” desa yang
mengatur hansip setempat. Kepala distrik inilah yang memutuskan hukuman apabila
terjadi pelanggaran yang cukup serius. Tampak adanya suatu pembagian kekuasaan
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Di satu pihak, terdapat kepala desa
beserta pembantu-pembantunya dan di pihak lain terdapat kepala distrik yang
menangani pelangaran-pelanggaran khusus.
B. Sistem
Perilaku
Kehidupan suku bangsa Asmat
dulunya adalah Semi Nomad, namun sekarang sudah ditinggalkan. Mereka tinggal di
pegunungan yang saling berjauhan karena perasaan takut diserang musuh. Rumah
Bujang merupakan tempat semua kegiatan desa dan upacara adat terpusat. Dasar
organisasi sosial masyarakat suku bangsa Asmat adalah keluarga inti monogamy
kadang-kadang poligini. Kesatuan keluarga yang lebih luas yaitu uxorilokal
yakni pasangan pengantin sesudah menikah berada di rumah keluarga yang lebih
luas, atau avunkulokal, yaitu pasangan pengantin setelah menikah akan bertempat
tinggal di rumah istri dari keluarga ibu. Di setiap kampung biasanya terdapat
dua yew. Sekaligus menandakan ada dua paroh masyarakat di kampung itu. Yew
pertama milik kelompok ciawi, yaitu
keluarga-keluarga penghuni asal kampung itu. Yew kedua milik kelompok amis,
yaitu keluarga-keluarga pendatang yang bergabung dengan penghuni kampung itu.
Antara kedua yew ini sering terikat hubungan sosial karena perkawinan. Karena
itu juga saling tolong menolong, misalnya ketika ada peperangan dengan kampung
lain. Mereka sering membentuk konfederasi beberapa kampung untuk menghadapi
kampung-kampung musuh. Dalam kehidupan orang Asmat, peran kaum laki-laki dan
perempuan adalah berbeda. Kaum laki-laki memiliki tugas menebang pohon dan
membelah batangnya. Pekerjaan selanjutnya, seperti mulai dari menumbuk sampai
mengolah sagu dilakukan oleh kaum perempuan. Secara umumnya, kaum perempuan
yang bertugas melakukan pencarian bahan makanan dan menjaring ikan di laut atau
di sungai. Sedangkan kaum laki-laki lebih sibuk dengan melakukan kegiatan
perang antara clan atau antar kampung. Kegiatan kaum laki-laki juga lebih
terpusat di rumah bujang.
C. Wujud
Budaya
Sebagai wujud budaya, suku
asmat mengenal istilah sistem clan. Clan merupakan wujud budaya asmat yang
telah mereka lakukan. Dengan prinsip
pernikahan yang mengharuskan orang mencari jodoh di luar lingkungan sosialnya,
seperti di luar lingkungan kerabat, golongan sosial,
dan lingkungan pemukiman (adat eksogami clan). Garis keturunan ditarik secara
patrilineal (garis keturunan pria), dengan adat menetap sesudah menikah yang
virilokal. Adat virilokal adalah yang menentukan bahwa sepasang suami-istri
diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dalam
masyarakat Asmat, terjadi juga sistem pernikahan poligini yang disebabkan
adanya pernikahan levirat. Pernikahan levirat adalah pernikahan antara seorang
janda dengan saudara kandung bekas suaminya yang telah meninggal dunia
berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pernikahan seorang anak dalam masyarakat Asmat, biasanya diatur oleh kedua
orang tua kedua belah pihak, tanpa diketahui oleh sang anak. Peminangan
biasanya dilakukan oleh pihak kerabat perempuan. Namun, dalam hal pencarian jodoh,
mereka juga mengenal kawin lari, yang artinya seorang laki-laki melarikan gadis
yang disenanginya. Kawin lari ini biasanya berakhir dengan pertikaian dan
pembunuhan. Perkawinan dalam masyarakat Asmat sebanyak lebih dari 25% adalah
poligini, dan di antara perkawinan-perkawinan poligini itu hampir separuhnya
adalah perkawinan yang telah diatur (perse tsyem). Masyarakat suku asmat juga
mengenal sistem kekerabatan dimana sudah menjadi pola wujud budaya mereka yaitu
budaya keluarga inti monogami, atau kadang-kadang poligini. Mereka tinggal
bersama-sama dalam rumah panggung (rumah keluarga) seluas 3 m x 5 m x 4 m yang
sering disebut dengan tsyem. Walaupun demikian, ada kesatuan-kesatuan keluarga
yang lebih besar, yaitu keluarga luas uxorilokal (keluarga yang sesudah menikah
menempati rumah keluarga istri), atau avunkulokal (keluarga yang dudah menikah
menempati rumah keluarga istri dari pihak ibu). Karena itu, keluarga-keluarga
seperti itu, biasanya terdiri dari 1 keluarga inti senior dan 2-3 keluarga
yunior atau 2 keluarga senior, apabila ada 2 saudara wanita tinggal dengan
keluarga inti masing-masing dalam satu rumah. Jumlah anggota keluarga inti
masyarakat Asmat biasanya terdiri dari 4-5 atau 8-10 orang.
Suku asmat juga mempunyai
struktur sosial yang disebut keluarga batih asmat biasa disebut cem atau tsyem.
Rumah Cem didirikan berderet-deret dibelakang rumah panjang/rumahkomunal/ rumah
bujang/laki-laki yang disebut yew. Jadi dapat dikatakan pusat pemukiman orang
Asmat adalah yew. Semua laki-laki remaja dan dewasa harus berdiam di Yew.
Sedangkan wanita dan anak-anak berdiam di Cem atau Tsyem. Perbandingan umur
juga menentukan masyarakat asmat beradaptasi dengan lingkungannya. Semakin
seorang anak meningkat dewasa, semakin dekat ia dengan keluarga luasnya yang senior,
terutama dengan saudara kandung ibunya. Sejak umur tujuh tahun seorang anak
laki-laki akan berdiam di youse keluarga luasnya
2.3. Kelompok
Sosial Suku Asmat
Dulu
permukiman orang Asmat sering berpindah-pindah, terutama di sekitar hutan sagu
milik kaum mereka. Pada masa sekarang desa-desa Asmat relatif tetap dan wilayah
mereka terbagi ke dalam beberapa wilayah seperti Agats, Sawa-Erma, Atsy dan
Pantai Kasuari (Pirimapun), sebagian lagi menghuni beberapa desa di wilayah
Citak-Mitak (Senggo). Keterbukaan wilayah Asmat sekarang berkat adanya unsur
seni mereka yang menjadi daya tarik dan kekaguman dunia, yaitu seni mengukir
patung dan panil dari kayu yang dianggap orang sebagai salah satu seni kesenian
primitif yang sempat bertahan.
Orang
Asmat sebenarnya terbagi lagi ke dalam beberapa sub-kelompok suku bangsa yang
timbul karena adanya federasi-federasi desa dalam zaman peperangan antar
kampung dan kelompok dulu. Federasi adat itu kadang-kadang juga ditandai oleh
kesamaan dialek dan simbol-simbol kesatuan sosial mitologis. Sub-sub kelompok
tersebut antara lain : Unisirau, Bisman, Simai, Emari-Ducur, Betch-Mbup, Kaimo,
Safan, Brazza dan Joerat.
Keluarga-keluarga
Asmat biasanya hidup dalam kelompok keluarga batih, yaitu gabungan dari
keluarga inti senior dengan beberapa keluarga inti yuniornya yang bertempat
tinggal dalam sebuah rumah keluarga (cem). Akan tetapi masing-masing keluarga
inti itu memiliki tungku api atau dapur (yousa) sendiri-sendiri, tempat si
isteri memasak makanan untuk suami dan anak-anaknya. Masyarakat Asmat menganut
prinsip hubungan kekerabatan yang patrilineal sifatnya. Akan tetapi dalam pola
tempat tinggal bisa saja seorang lelaki ikut dengan kelompok batih isterinya. Keluarga-keluarga Batih
itu tergabung lagi ke dalam kelompok keluarga luas patrilineal sampai kepada
cikal bakal yang pertama beberapa tingkatan ke atas. Kelompok keluarga luas ini
disebut yeu, dan bersama-sama dengan yeu lain membentuk federasi desa dan
mendirikan rumah komunal federasi yang juga disebut yeu. Dari pada menghabiskan
waktunya di rumah keluarga (cem) lelaki Asmat lebih banyak berada di rumah yeu,
kecuali sedang mengolah sagu atau pergi berburu atau berperang. Dalam sebuah
desa kadang kala ada dua atau lebih rumah yeu, berarti dalam desa itu ada dua
atau lebih federasi yang membentuk lagi konfederasi teritorial sekampung.
Sistem
kepemimpinan orang Asmat lebih ditekankan kepada kemampuan dan kewibawaan
seorang lelaki yang mempunyai tubuh perkasa dan memiliki banyak pemgalaman
dalam pertempuran. Akan tetapi dalam kehidupan sosial politik sehari-hari
setiap kampung biasanya mempunyai seorang pemimpin adat yang disebut yeu iwir,
dan masing-masing federasi yeu mempunyai seorang pemimpin yang disebut tese wu.
Para pemimpin adat ini dibantu oleh sejumlah penasehat yang disebut arak
amsewir, yaitu orang tua-tua bijak yang kaya dengan pengalaman. Walaupun setiap orang
dianggap mampu berhubungan dengan dunia roh yang mereka yakini, akan tetapi
mereka juga memiliki seorang tokoh yang dianggap pemimpin dalam masalah upacara
keagamaan, tokoh ini disebut arapak tor. Pelapisan sosial Asmat lebih banyak
ditentukan oleh kesenioran seseorang tokoh yang disegani karena jasa dan
keperkasaannya. Akan tetapi mereka juga menaruh rasa segan dan hormat kepada
tokog-tokoh pengukir (wow ipits), tokoh pendongeng cerita-cerita suci (pirmer
wur), tokoh pemain tifa dan penyanyi (eme wu), dan tokoh diplomatik yang sering
menjadi penghubung antar kelompok (emak fakau).
2.4. Nilai/Norma Yang Ada Di
Suku Asmat
Kebudayaan
Papua didasari oleh nilai-nilai yang telah terbentuk dan dianut masyarakat
Papua dari jaman nenek moyang sampai
sekarang. Nilai-nilai yang mendasari masyarakat Papua untuk
bertingkahlaku dikenal dengan sebutan values. Values terbentuk melalui proses transmisi yang
hampir sama seperti proses terbentuknya
belief, yaitu keyakinan terhadap
sesuatu yang benar/salah, baik/buruk,
maupun dikehendaki/tidak dikehendaki. Dalam
belief, diasumsikan memiliki
cognitive, affective dan behavioral components (Rokeach, 1968). Values
merupakan konsep atau kepercayaan
yang mengarahkan pada keadaan akhir atau tingkah laku yang diinginkan, hakikat dari sesuatu spesifik, pedoman untuk menyelesaikan tingkah laku dan
kejadian-kejadian serta disusun berdasarkan kepentingan yang relatif (Schwartz &
Bilsky,1987,1990). Di dalam values terdapat
sepuluh tipe yaitu benevolence,
conformity, tradition, security, power, achievement, stimulation, self
direction, universalism dan hedonism (Schwartz,
2001). Nilai-nilai budaya Papua
tercermin dari berbagai tradisi yang diturunkan dari tradisi orangtua dan
dewasa lain yang sebudaya dapat terlihat dalam pesta bakar batu, masyarakat
Papua dapat mengeluarkan uang yang banyak dan tidak bekerja selama berhari-hari hanya untuk dapat
mengadakan pesta ini karena bagi mereka 6 Universitas Kristen Maranatha makna
pesta ini adalah untuk mengucapkan rasa
syukur melalui kegembiraan (hedonism
value). Selain itu, masyarakat Papua menjalankan upacara adat maupun pesta adat sebagai suatu kewajiban untuk
menjaga dan menghormati adat istiadat (tradition value). Sedangkan saat
masyarakat Papua ini berada di Kota bandung, mereka mengalami akulturasi dengan
budaya lain yang lebih beranekaragam
sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi nilai-nilai budaya yang telah
mereka pegang sejak berada di Papua. Nilai-nilai ini dapat terlihat saat berada
di Kota Bandung, sudah tidak ada orang dewasa Papua yang sebudaya untuk
mengurus mereka melainkan orang dewasa yang berbeda budaya (Sunda) yang
mengurus dan mengatur kehidupan mereka sehingga mereka sangat patuh dan
menghargai orang dewasa tersebut (conformity value). Saat berada di Kota
Bandung, mereka jarang melakukan adat tradisi budaya Papua namun untuk mengingatkan
mereka berasal dari Papua, mereka selalu membawa barang-barang seperti koteka,
tifa atau benda-benda lain yang dapat mewakilkan diri mereka (tradition value).
2.5
Kelembagaan Suku Asmat
Suku Asmat memiliki satu kepala suku
dan kepala adat yang sangat dihormati. Akan segala tugas kepala suku harus
sesuai dengan kesepakatan masyarakat, sehingga hubungan antara kepala suku
dengan masyarakat cukup harmonis. Jika kepala suku meninggal dunia, maka
kepemimpinan diserahkan pada marga keluarga lain yang dihormati oleh warga.
Kepemimpinan juga bisa diserahkan kepada orang yang berhasil mendapatkan
kemenangan dalam perang.
Suku asmat sendiri mempunyai
sistem sosial yang mempunyai peran tersendiri. Perbedaan pada pola tradisional,
Pola kepemimpinan dan kekuasaan saat ini tidak berada pada satu orang secara
pribadi saja. Kepala desa, di dalam penyelenggaraan ketertiban hukum dibantu
oleh beberapa orang pembantu. Kepala desa dan pembantu-pembantunya juga
bertanggungjawab atas pemeliharaan kebersihan kampung, pemeliharaan jalan-jalan
dan juga menjaga agar warga desa memelihara rumahnya dengan sebaik-baiknya.
Struktur organisasi pada suku asmat bebeda dengan masyarakat umum. Jabatan
kepala desa diserahkan kepada orang muda yang telah mendapatkan pendidikan dari
misi agama pada akhir lima puluhan.
2.6
Perubahan Sosial Suku Asmat
Situasi sosial budaya Asmat mengalami perkembangan sejak
datangnya para misionaris pada tahun 1960-an. Interaksi dengan dunia luar yang
membawa serta perkembangan struktur sosial budayanya, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya baru nan modern turut mewarnai
jati diri manusia Asmat. Meskipun demikian, hal tersebut belum mengeser
seluruhnya budaya masyarakat Asmat sebagai manusia peramu. Kalaupun ada, itu
adalah bentuk-bentuk meramu baru. Unsur
ekonomi amat mempengaruhi kebudayaan Asmat. Akibatnya budaya Asmat sebagaimana
digambarkan di atas, kini telah mengalami pergeseran di sana sini. Alam
meskipun masih mempunyai nilai yang sakral kini juga telah dikomersilkan.
Pohon-pohon ditebang untuk pembangunan, hasil hutan tidak lagi sekedar untuk
kebutuhan konsumsi tetapi juga untuk diperjual-belikan. Jika dulu mereka meramu
alam, kini sebagian meramu kebijakan-kebijakan pemerintah terutama berkaitan
dengan Alokasi Dana Kampung. Agama Katolik memang menjadi agama mayoritas. Akan
tetapi keseluruhan hidup orang Asmat masih dipengaruhi oleh keyakinan
tradisional mereka terutama berkaitan dengan dunia roh yang bercorak animisme
dan dinamisme. Bahkan prinsip resiproritas yang menjadi ciri masyarakat
Melanesia pada umumnya pun masih berakar kuat. Segala sesuatu mesti ada timbal
baliknya. Itu sebabnya pula, visi gereja menjadi pilar masyarakat di samping
budaya Asmat itu sendiri menghadapi tantangan yang berat. Berbagai strategi
pemberdayaan masyarakat seperti tidak menampakan hasil apa-apa. Bahkan yang
paling nyata, ungkapan-ungkapan iman (dan seni) yang tertuang dalam
ukiran-ukiran Asmat pun tidak lagi semata-mata bernilai religi tetapi juga
ekonomis. Banyak pengukir Asmat yang membuat ukirannya sekenanya saja lalu
menjajakannya dari rumah ke rumah dengan harga yang murah. Kini, tradisi
ukir-mengukir ini coba dilestarikan dengan Pesta Budaya Asmat yang biasa
diselenggarakan pada awal bulan Oktober setiap tahun (tahun ini berlangsung
dari 6-11 Oktober 2016). Namun, nilai magis religi dan seninya telah jauh
berkurang.
Di samping itu, rumah adat yang
disebut Jew atau Rumah Bujang yang dulu memegang peranan yang sangat penting
pun telah mengalami pergeseran bahkan hilang sama sekali. Tempat yang semula
berpusat sebagai sarana untuk membicarakan hidup bersama di kampung, kini
fungsinya meluas. Tidak hanya berkaitan dengan perang dan urusan adat tetapi
juga berkaitan dengan agama, pemerintahan, sosial dan semua hal yang berkaitan
dengan hidup bersama. Sayangnya, di beberapa kampung, Rumah Bujang sebagai
rumah adat sudah tidak ada lagi. Perannya telah digantikan oleh Balai Kampung
atau Balai Desa. Dengan demikian, pokok pembicaraan pun menyempit pada urusan
pemerintahan saja.
Selain
itu perjumpaan dengan budaya-budaya baru dari sekitar 30-an suku pendatang di
Kabupaten Asmat (per 1987) pun turut mempengaruhi relasi sosial. Misalnya
pemakaian Bahasa Indonesia yang makin umum, yang dipengaruhi juga oleh makin
banyaknya generasi muda Asmat yang memperoleh pendidikan dasar dan menengah
pertama. Selain itu, orang Asmat mulai merasa termarginalkan baik dalam
birokrasi pemerintahan maupun sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Sementara
kaum pendatang lebih sejahtera yang tampak lewat pekerjaan yang tetap,
perumahan yang permanen. Hal ini dipertajam oleh pola-pola pemukiman yakni
adanya perumahan orang Asmat yang kumuh dan kurang terawat di samping perumahan
pemda atau perumahan pendatang yang lebih mapan dan terurus.
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Suku
Asmat merupaka suku terbesar di tanah papua. Mereka memiliki berbagaimacam
budaya yang unik dan menarik. Kehidupan adat yang sangat kompleks menjadi
sebuah hal yang menarik untuk selalu di pelajari. Kehidupan sehari-hari suku
asmat memang tidak bisa lepas dari akar budaya mereka. Kedekatan mereka dengan
alam sangat tercermin dari tatacara kehiidupan mereka. Pakaian mereka yang
terbuat dari bahan-bahan yang ada di alam. Ukiran-ukiran bahkan konsep tata
cara hidup mereka juga terinspirasi dari alam.
DAFTAR
PUSTAKA
Lestari, Gina. 2015. Bhinnekha
Tunggal Ika: Khasanah
Multikultural Indonesia Di Tengah Kehidupan Sara. Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan.
Tilaar, H. A. R. 2006. Multikulturalisme,
Bahasa Indonesia, Dan Nasionalisme dalam Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.